(For GetAway Magazine Issue, March 2014)
Raut mukanya tampak sedikit cemas. Sesekali dia berjongkok, meraup
debu dan menaburkan di udara.
“ Kita harus bergegas. Kalau bisa nanti kamu hanya 1 menit
saja di atas untuk mengambil foto” dengan
tegas Om Lala, ( Om panggilan akrab di daerah Sulawesi Utara), begitu orang-orang
akrab menyapanya dan dikenal sebagai kuncen
Gunung Lokon, membriefing saya sambil
terus meneruskan langkahnya.
Gunung Lokon terletak di Propinsi Sulawesi Utara, dengan
ketinggian 1580m di sebelah barat laut kota Tomohon yang asri dan sejuk. Gunung
Lokon merupakan penyuplai pupuk terbaik bagi tanah Tomohon yang terhampar di
bawahnya. Pada tahun 1991 Gunung ini pernah meletus hebat dengan melontarkan
ribuan batu dan awan debu tebal. Pada saat itu
udara di gunung yang biasanya sejuk berubah menjadi panas karena ia
memuntahkan Lava pijar ke udara dengan ketinggian hampir 400meter. Angin yang
membawa debu dari muntahannya menyebar menaburi tanah dibawahnya ibarat pupuk. Aktivitas
Lokon hingga kini masih terus berlangsung berupa gempa tremor dan vulkanik dan
bisa dirasakan oleh penduduk di sekitarnya, yaitu mereka yang bermukim di desa
Kakaskasen sebagai desa terdekat .
Udara dingin semakin menggigit dan semakin ke atas oksigen
semakin menipis, membuat nafas
tersenggal dan langkah menjadi lebih berat. Tersenggal- senggal saya berusaha
mengejar langkahnya. Tentu saja karena medan
perjalanan yang sudah pasti menanjak dan tidak rata.
Berbeda dengan beberapa pendakian yang saya lakukan
sebelumnya di beberapa tempat , pendakian kali ini selain memompa darah lebih
cepat juga memacu adrenalin lebih kencang. Bisa jadi keputusan saya kali ini
untuk mendaki untuk mengambil contoh bebatuan dari lahar baru sangat
kontrovesial karena gunung ini masih berstatus siaga dan sebulan sebelumnya
Gunung Lokon baru saja meletus dengan melontarkan debu vulkanik hingga 3000
meter ke udara.
Dini hari tadi kami memulai pendakian sekitar pukul 4 pagi.
Melalui jalan setapak yang cukup landai hingga tiba di jalur pendakian yang lebih
mirip sungai dengan batu- batu besar di kanan kiri. Ini adalah lintasan lahar
panas yang kemudian membeku membentuk bebatuan. Rute ini adalah rute yang biasa
ditempuh para pendaki, mengikuti alur aliran lava dingin yang berkelok-kelok
hingga ke danau kawah yang terletak kurang lebih 600 meter dari puncaknya. Terkadang
batu- batu ini cukup licin dan seringkali agak tinggi sehingga saya harus
merangkak atau mengangkat lutut tinggi-tinggi dibantu kedua tangan untuk
mendaki.
Beberapa orang mungkin menganggap bahwa mendaki gunung
dianggap sebagai kegiatan yang menyerempet bahaya. Bahkan tak jarang ada yang
menganggap kegiatan ini “sok jagoan”. Mungkin semua itu benar adanya jika
dilakukan tanpa bekal pengetahuan yang cukup dan persiapan yang matang.
Layaknya kegiatan dialam bebas lainnya, mendaki gunung sebenarnya
seperti menjalani kehidupan. Mendaki gunung mengharuskan seseorang memiliki
persiapan yang baik dan tentu saja ini melatih seseorang untuk selalu penuh
perhitungan dalam setiap langkahnya menjalani kehidupan. Disini kita juga
dilatih untuk berdisiplin, seperti halnya ketika saya harus tepat waktu
berangkat pukul 4 pagi, bertanggung jawab dan dapat mengambil keputusan dengan
tepat karena banyaknya tantangan yang dihadapi. Hal lain adalah menumbuhkan rasa
cinta terhadap alam dan lingkungannya dengan mengenal secara langsung.
Matahari perlahan mulai muncul dari balik Gunung Mahawu yang terletak tepat di seberang Gunung
Lokon. Sinarnya jatuh menerpa embun rerumputan di sekitar pelataran Gunung Lokon, berkilau bagaikan serbuk emas. Di bawahnya tampak
sungai berwarna keperakan berkelok-kelok. Saya tidak bisa terlalu lama
menikmati pemandangan itu. Disatu sisi saya agak sentimental, satu sisi saya
teringat pesan guide untuk bergegas ke puncak.
Kurang lebih 2 jam pendakian akhirnya kami tiba di bibir
kawah yang mulai menunjukan aktivitas batuknya sedikit-demi sedikit. Gunung
Lokon memiliki keunikan karena kawahnya terletak di sebelah utara lereng gunung
dan bukan berada di puncaknya. Dahulu di kawah ini terdapat sebuah danau
vulkanik. Bau belerang mulai tercium tajam. Seperti yang di katakan saya hanya
punya waktu satu menit untuk segera mengambil gambar dan kemudian kami bergegas
turun.
Dalam perjalan pulang saya mulai mengumpulkan beberapa jenis
bebatuan yang baru saja terbentuk dari lahar yang baru membeku. Kira-kira pukul
01.siang hari yang sama, dari kejauhan Gunung Lokon tampak berkali-kali
mengeluarkan asap tebal berwarna putih
dan kadang hitam.
Sore itu dari jendela kamar saya menatap ke arah gunung yang
tampak tenang, menjaga kota Tomohon dikakinya yang mulai meredup seiring
datangnya senja. Cahaya matahari yang perlahan mulai tenggelam seolah-olah
membingkainya. Sungguh tidak seorangpun pernah tahu kapan dia akan mulai menggeliat.