( For Travel & Fotografi Magazine, August'13)
Laope au marhuta sada
Tung Sapola leleng nga
mulak au
Di parjalangan ndang
sonang au
Sai tu Pulo Samosir ma
sihoal au
Alunan merdu
anak buah kapal bertajuk “Dosroha” mengiringi perjalanan saya dari Parapat pagi
ini menuju Pulau Samosir, sebuah pulau di tengah danau yang merupakan danau
terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Hembusan angin sejuk dari pegunungan dan
pantulan sinar matahari diatas permukaan danau serta deretan lembah dan bukit
merupakan pemandangan yang membuat nafas saya sesekali berhenti. Perjalanan darat yang baru saja kami tempuh
selama kurang lebih 4 jam dari Medan seolah-olah menguap begitu saja.
Adalah Danau
Toba, sebuah danau vulkanik yang terletak di propinsi Sumatera Utara, yang
diperkirakan terjadi karena letusan gunung berapi kurang lebih 75000
tahun yang lalu dimana letusannya membentuk kaldera dan kemudian terisi air.
Dengan sisi terpanjang danau mencapai 100km dan lebar 31 km diatas area seluas
1145km2 dapat dibayangkan betapa luasnya danau tersebut.
Berkunjung ke
Danau Toba belum lengkap apabila belum mengunjungi Pulau Samosir. Pulau unik karena terletak di tengah danau ini
merupakan tempat yang wajib dikunjungi. Pulau Samosir diyakini sebagai derah
asal suku Batak karena tepatnya di desa Pusuk Buhit kecamatan Sianjur Mulamula
merupakan perkampungan suku batak yang pertama. Semakin unik karena di pulau
ini juga terdapat dua buah danau yaitu Danau
Aek Natonang di Desa Tanungan dan Danau
Sidihoni di desa Huta Panmakohan Lumban Suhi.
Setelah
mengarungi danau selama 45 menit akhirnya kami tiba di desa pertama, Desa Tomok.
Desa Tomok bagaikan etalase Pulau Samosir. Objek wisata di Desa Tomok berkumpul
disatu area dan dekat dengan pasar Tomok yang juga berfungsi sebagai pasar
souvenir dan pusat oleh-oleh khas Samosir. Bagi kalangan wisatawan, Desa Tomok dikenal sebagai wisata sejarah dan situs
budaya. Objek wisata yang terkenal adalah Museum Batak, Makam Raja Sidabutar
dan rumah adat batak dengan patung Sigale-gale. Sesuai fungsinya rumah adat
batak dibedakan menjadi dua yaitu yang berukuran besar disebut Rumah Bolon
dimana di pergunakan khusus bagi raja beserta keluarganya. Sedangkan rumah adat
yang berukuran lebih kecil disebut Siamporik yang merupakan kediaman para
bangsawan. Didepan Rumah Bolon inilah biasanya patung Sigale- gale berada.
Sigale-gale merupakan salah satu kebudayaan batak Toba yang dibanggakan. Konon
menurut cerita boneka Sigale-gale dibuat untuk mengobati kerinduan sang raja
terhadap putranya yang wafat karena sakit sehingga di buatnya patung yang
wajahnya menyerupai anaknya yang bernama Manggale dan kemudian dimasuki roh
sehingga boneka itu manotor ( menari) selama tujuh hari tujuh malam. Pertunjukan Sigale-gale dapat dinikmati para
wisatawan dengan iringan music traditional batak yang menggunakan alat perekam
dan kemudian biasanya mereka berfoto bersama dengan menggunakan ulos ( kain
traditional batak).
Dari desa Tomok, kami melanjutkan perjalan menuju desa Ambarita dengan
menyewa motor, atau biasa di sebut kereta. Perjalanan menuju desa Ambarita
tidak kalah indahnya. Disisi kiri perbukitan hijau menjulang tinggi dengan
hamparan sawah menghijau menjadi alasnya. Benar-benar pemandangan yang
menyejukan mata terutama bagi saya yang tiap hari harus dihadapkan pada
pemandangan antrian kendaraan parkir alias macet. Di desa Ambarita tepatnya di
huta ( kampong) Siallagan terdapat 8 buah rumah adat batak dan yang menarik adalah Batu Kursi Raja Siallagan,
yaitu seperangkat kursi dan meja yang di gunakan sang raja untuk bersidang atau
mengadili sebuah perkara kejahatan. Pada jaman dahulu seseorang yang dianggap
melakukan kesalahan fatal seperti membunuh atau memperkosa maka akan dikenakan
hukuman penggal kepala. Batu kursi persidangan tersebut adalah salah satu bukti
peninggalan sejarah terdapatnya hukum batak di huta Siallagan.
Berjarak kurang lebih 3km kami menuju desa Tuktuksiadong atau yang lebih
dikenal dengan nama Tuktuk. Ini adalah salah satu desa dimana kita bisa
menikmati pemandangan danau toba secara langsung dari tepinya. Tuktuk adalah
semenanjung kecil di sebelah timur Pulau Samosir yang menjorok ke Danau Toba.
Disini biasanya turis mancanegara memilih untuk tinggal. Kebanyakan bungalow,
home stay di bangun dengan memiliki pelabuhan tersendiri sehingga memudahkan
wisatawan yang ingin berwisata mengelilingi danau toba baik menggunakan kapal, menyewa jetsky, menyewa
cano ataupun berenang langsung ke danau. Tuktuk merupakan salah satu desa yang
sudah maju dengan banyaknya penginapan, toko, café, bar dan rumah makan serta
penyewaan motor, sepeda dan adanya travel biro. Bisa dikatakan Tuktuk adalah
primadonanya Pulau Samosir.
Kabupaten Samosir memiliki daya tarik tersendiri disetiap kecamatannya.
Fokus wisata disini adalah seputar wisata alam dan wisata budaya. Selain yang
disebutkan diatas sebagai tempat yang paling ramai dikunjungi wisatawan, di
Pulau Samosir kita juga bisa mampir ke pantai Ambarita atau pemandian air panas
di dekat kota Pangururan. Sejatinya Pulau Samosir memiliki banyak tempat wisata
yang layak untuk dijelajahi.
Seperti halnya lagu riang yang dinyanyikan anak buah kapal, “ kemanapun
pergi, Pulau samosir tetap yang paling kurindu “
Tips
Transportasi : Yang paling mudah adalah melalui
Medan. Pilihan transportasi adalah menggunakan travel atau yang disebut taxi (
sejenis minibus Kijang atau Avanza) dengan rute Medan – P.Siantar - Parapat
yang memakan waktu kurang lebih 4 jam dengan kisaran biaya Rp.70.000. Atau bisa
juga menyewa mobil yang banyak terdapat di Medan dengan kisaran harga sewa
350.000 tidak termasuk bensin. Sampai Di Parapat, kita menyeberang menggunakan
ferry dari pelabuhan ferry Ajibata atau Tiga Raja menuju Desa Tomok di pulau
Samosir. Pelabuhan Ajibata di Parapat adalah yang paling ramai untuk menuju
Pelabuhan Tomok di Pulau Samosir. Biaya perorangnya Rp. 5000 saja dengan waktu
perjalanan 30 menit tidak termasuk menunggu antrian. Sementara untuk kendaraan roda empat biayanya
sekitar Rp.90.000 sudah termasuk penumpang didalamnya. Kita bisa juga
menggunakan ferry yang di peruntukan bagi turis, kapal ini hanya mengangkut
penumpang tanpa kendaraan bermotor , dengan biaya Rp. 20.000 dan biasanya ferry
jenis ini akan singgah di setiap desa untuk menurunkan penumpangnya. Ferry
seperti ini banyak bersandar di dermaga-dermaga kota Parapat. Apabila kita
menumpang kapal turis ini kita akan dibawa melihat objek wisata Batu Gantung
yang konon menurut cerita adalah seorang putri yang bunuh diri karena dipaksa
menikah oleh kedua orang tuanya. Alternatif lain adalah melalui jalan darat
Medan - Tele yang memakan waktu lebih lama sekitar 8 jam. Jalannya berkelok-kelok
dan cenderung curam akan tetapi kita akan disuguhi pemandangan yang lebih
indah. Ini adalah satu-satunya jalan
darat menuju pulau Samosir yang akan
melalui Jembatan Tano Ponggol buatan kolonial Belanda.
Transportasi
yang umum digunakan di Pulau Samosir adalah menyewa motor atau yang biasa
disebut kereta. Harga sewa motor perhari mulai 50rb. Bisa juga kita menyewa
sepeda untuk berkeliling desa.
Penginapan : Sangat mudah mencari penginapan di
Pulau Samosir. Berpusat di desa Tuktuk dengan harga yang relatif terjangkau. Biasanya
penginapan di desa Tuktuk berupa resort yang langsung berhadapan ke danau.
Penginapan berupa hotel juga bisa di temui di desa Ambarita.
Kuliner : meskipun sebagian besar makanan di
daerah Toba tidak halal namun tidak perlu khawatir karena banyak sekali rumah
makan muslim. Makanan khas yang perlu dicoba adalah ikan arsik dan mie gomak. Jangan
lupa mencicipi sejenis mangga yang cuma ada di kota Parapat.
Signal
Handphone dan internet dapat dibilang sangat bagus untuk semua operator bahkan
didaerah terpencil sekalipun. Penginapan
disini rata-rata sudah menyediakan akses wifi.
Waktu
berkunjung yang ideal adalah 3 - 4 hari. Untuk mendapat pengalaman yang lebih,
cobalah datang dan pulang dengan akses yang berbeda.
No comments:
Post a Comment