(For GetAway! Magazine, Dec'13 issue)
Saya tiba di Desa Ngadas sekitar
pukul 1 siang disambut udara dingin yang mulai menusuk. Desa Ngadas adalah desa
terakhir apabila kita hendak menuju kawasan Taman Nasional BromoTengger Semeru di
propinsi Jawa Timur. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merupakan kawasan
konservasi yang memiliki keunikan dengan adanya panorama anak gunung, savana
(padang rumput) yang luas serta lautan
pasir seluas 5.250ha yang berada di ketinggian kurang lebih 2100dpl. Di bagian selatan merupakan dataran tinggi
yang dipisahkan oleh lembah dan ngarai serta danau-danau kecil yang membentang
di kaki gunung Semeru. Kawah Gunung Bromo sendiri berada di bagian utara dengan
ketinggian 2.932 dpl, merupakan kawah yang yang masih aktif dan sering mengeluarkan
kepulan asap ke udara.
Ibu Mulyadi sang pemilik rumah
menyambut saya dengan ramah. Beliau langsung mengajak saya ke dapurnya dimana terdapat
sebuah perapian (pra pen) yang terbuat dari semen dengan beberapa dingklik (bangku pendek dari kayu) di
sekitarnya. Rasa hangat langsung menjalari tubuh. Bu Mulyadi adalah salah
seorang suku Tengger yaitu suku yang bermukim di sekitar Gunung Bromo dimana
masyarakatnya tetap berpegang teguh pada
adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya yang di wariskan oleh nenek moyangnya secara turun
menurun. Suku Tengger dan Gunung Bromo
adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya melengkapi satu sama lain.
Suku Tengger tersebar di empat
kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan hidup sebagai petani.
Ladang- ladang mereka berada di lereng gunung dan bukit dengan hasil utama
jagung, kentang, wortel, kubis, daun bawang dsb. Pada umumnya mereka hidup
sangat sederhana. Bahkan alat pertanian yang mereka gunakan masih bersifat
traditional seperti sabit dan cangkul. Masyarakat Tengger hidup penuh
kedamaian. Segala permasalahan diselesaikan dengan bermusyawarah dan dipimpin
oleh orang yang yang paling berpengaruh
yang biasa di sebut Dukun. Dukun ini berperan dalam segala pelaksanaan adat
istiadat dan kegiatan masyarakat
lainnya.
" Yang penting buat kami ini
hidup tentrem ( damai), tidak
menganggu satu sama lain dan kerja keras " kata Bu Mulyadi sambil
tangannya sibuk menyiapkan sesajen yang akan dibawanya besok untuk mengikuti upacara Kasada. Upacara Kasada oleh masyarakat
Tengger biasa di sebut Wilujengan Kasada. Acara yang juga disebut Yadna Kasada ini
merupakan ritual masyarakat Tengger yang diadakan setiap setiap punama pada
bulan ke-10 (Kasada) menurut penanggalan Hindu Tengger.
Keesokan paginya saya diajak
keluarga Mulyadi untuk mengikuti pengambilan air suci. Dengan menggunakan jeep
pribadi kami melintasi padang rumput luas yang membentang dan membelah lautan
pasir hingga tiba di kaki gunung yang terletak di dekat kawah Bromo. Mata
airnya terletak di dalam goa di atas bukit. Cukup melelahkan tentu saja mendaki
ke atas. Goa ini yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Goa Widodaren
merupakan lokasi pemujaan masyarakat Hindu Tengger yang percaya bahwa air yang
keluar dapat membuat paneh melimpah sehingga dianggap suci. Ritual pengambilan
air ini disebut Mendhak Tirta. Air dimasukan
ke dalam bumbung bambu yang nantinya akan dibawa ke pura agung poten tempat upacara berlangsung.
Acara dimulai pada sore hari dengan
pembacaan sejarah tentang asal usul masyarakat Tengger. Secara singkat
dikisahkan kata Tengger merupakan singkatan dari Lara Anteng dan Jaka Seger,
sepasang suami istri yang memberikan 25 keturunan yang selanjutnya menjadi
nenek moyang masyarakat Tengger. Upacara Kasada itu sendiri dimaksudkan untuk
memberikan persembahan kepada putra pertama mereka, Raden Kusuma, yang dikorbankan kepada Gunung Bromo dalam
rangka pemenuhan janji mereka untuk mendapatkan keturunan.
Malam mulai datang perlahan.
Sinar bulan purnama menerangi Pura Poten yang dipenuhi pengunjung. Sebagian
warga tampak menghangatkan diri dengan berdiang di api unggun melawan udara
dingin. Selanjutnya seluruh dukun yang hadir memberikan persembahan sesaji diikuti acara yang paling sakral yaitu
pembacaan doa tidak hanya untuk komunitas masyarakat Tengger namun seluruh umat
di dunia agar di beri keselamatan dan kemakmuran. Tepat pukul 00.00 mereka
berjalan beriringan dengan membawa sesaji menuju kawah Bromo diikuti oleh
masyarakat Tengger itu sendiri. Saya cukup salut karena banyak dari mereka yang
bisa dikatakan berusia tidak muda lagi. Dapat
dibayangkan bagaimana rasa dingin yang menusuk dan harus berjalan dalam gelap
sambil memanggul sesaji yang ditata dengan sangat rapi dengan menggunakan
ongkek bambu.
Menjelang matahari terbit, yang
disebut dengan Surya Serwana, acara Labuhan pun dimulai. Dalam acara labuhan
ini, benda yang di labuh ( dipersembahkan) berupa segala macam tanaman yang
menghasilkan dari hasil pertanian masyarakat tengger seperti kentang, kubis,
ketela dan sebagainya. Terkadang ada
juga yang membawa persembahan berupa kambing atau ayam, biasanya mereka yang meminta permohonan
khusus. Di lereng kawah Bromo sudah berkerumun orang-orang yang disebut
pengambil sajen, bersiap untuk menangkap persembahan yang di lempar ke dalam kawah. Ada
yang bermodalkan jala dari kain goni, sarung maupun terpal plastik. Tidak ada
rasa kekhawatiran berdiri di lereng yang curam dengan kawah aktif yang mengepul
di belakangnya.
Selain meminta keselamatan,
upacara ini mampu menyedot banyak perhatian dari masyarakat. Upacara Kasada
tidak hanya untuk masyarakat Tengger saja namun masyarakat umum juga boleh ikut
berpartisipasi baik sebagai penonton maupun ikut dalam prosesinya.
INFO
Transportasi
Flight/ Kereta Api : Jakarta -
Surabaya / Jakarta - Malang
Travel/Bis :
- Surabaya
- Malang dilanjutkan naik angkot
sampai Tumpang, berganti Ojek/Jeep/Truk Sayur sampai desa Ngadisari
- Surabaya
- Probolinggo sampai Desa Cemoro Lawang
Penginapan
- Rumah
penduduk di desa Ngadisari
Ibu
Mulyadi 08283396641/ 082895297127 (juga melayani penjemputan dari St. Malang
dan penyewaan jeep)
- Hotel Cemoro
Indah Lawang
No comments:
Post a Comment