Wednesday, April 27, 2011

Fotografi = Main - Main ?

Waktu pertama kenal DSLR thn 2004, saya memakai EOS 10D setelah sebelumnya selama hampir 6 thn pakai analog NIKON F2 & F5. Booming digital 2 tahun lalu, pertama saya beli entry level 1000D, lensanyapun cuma punya  KIT& 1 lens fixed yang dibeli karena kebutuhan. Harganya waktu itu  senilai EOS 550D BO jaman sekarang. Saat itu masih sering juga motret pake analog. Selain SLR analog & digital tentu saja juga pakai pocket dan pernah mencoba Lomo.

Kalau diitung- itung hubungan saya dengan dunia photography sudah berlangsung sedemikian lama.  Dalam arti bahkan sampai detik ini juga saya masih belajar baik secara tehnik maupun praktek (Meskipun beberapa mengatakan bahwa ROT boleh dilanggar tapi saya tetap masih belajar sampai sekarang supaya dapat frame yang enak dilihat )

Sekarang ini photography sering dianggap main- main oleh nubie. Pertama dari kelas harga. Harga mahal pasti bagus. yaa bener sih ada uang ada barang tapi ini khan bukan soal beli  fashion. Yang lebih ga ngerti lagi darimana ya mereka bisa berkesimpulan bahawa lensa panjang itu sudah pasti lebih mahal dari lensa pendek *gigit sandal*


Dua gambar diatas saya ambil dengan angle sama dan body berbeda. Ada yg bisa liat perbedaannya secara significant ?

Kedua, sekarang begitu  seseorang mampu beli camera lalu langsung mencap diri sebagai photographer. Hey c’mon , by the time you buy that thing you just own it. Sometimes bahkan ada yang udah mengklaim dirinya photographer but they don’t know how to attach lens..*krik krik krik*. Yaa..sah – sah saja sih siapapun yang bisa memotret bisa disebut photographer koq.

Photography tidak semata dilihat dari kualitas gambar yang sempurna, tanpa grainy atau megapixel yang besar hingga mampu mencetak ukuran baliho dengan pixel yang padat. Photography sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti “ cahaya dan menulis “ maka cahaya (baik cahaya matahari atau lampu) merupakan unsur yang paling penting yang ga bisa dianggap remeh untuk mendapatkan hasil foto yang baik selain dari komposisi dan  pengaturan kecepatan rana. Ketiga hal tersebut yang sekarang tidak begitu dipahami nubie. Sekali lagi terlepas dari kecanggihan digital dan software editing.

Percaya ga, jaman kuliah waktu belum ada DSLR, kita harus mencatat data exif sedemikian rupa sampai gambar yang di cetak akhirnya mendekati sempurna. Catat: mendekati ya..hikss…pengaturan dilakukan secara manual dan setelah cetak baru bisa lihat letak kesalahan.Ternyata bukaannya harus segini, ternyata kecepatannya kudu dikurangin. Pegel ga sihh??.sekarang mah, jebret tinggal delete. Bahkan ada yang dengan cueknya publish foto over atau under, bahkan goyang. as long diambil pake cam mahal mah cuek aja..ishhh

Suatu saat ketika sedang berbincang dengan salah satu nubie, beliau ngotot mengatakan bahwa lensa fixed dipergunakan untuk mendapatkan bidang frame yang luas. Bukan karena dia mencontohkannya sambil merentangkan tangan yang bikin saya pengen gali kubur  tapi kemudian saya sadar bahwa senjata terbaik adalah mengiyakan saja  dan berjanji lain kali saya akan membahas kisah cinta Raul Ramos & KD saja dengannya.  Boro- boro mau ngomongin soal lens mirror or sensor CMOS. 

Tapi ya sudahlah. Lagipula disini kita bicara mengenai fotografi, suatu seni. Jadi kita bisa lihat siapa yang bisa bertahan dan yang benar-benar membuat sebuah karya seni. Lagipula ga semua nubie koq begini, ada yang emang udah in the blood jadi mau pake cam apa aja juga "nyeni"..

Sejujurnya saya sama sekali ga pede motret, terutama ketika menenteng – nenteng  gadgetnya sendiri. Pun saya sering kali ga pede dengan hasil jepretan meskipun beberapa sudah sering di publikasikan di media dan menang lomba.

Alasan saya tidak membuka kolom koment ketika posting album di salah satu jejaring sosial juga terus terang justru takut ada yang bilang “ wihh, bagus banget fotonya”, “ makin canggih aja nih motretnya” instead cuma untuk menyenangkan hati. Beban mental banget sementara saya sendiri waktu mau publish aja ragu – ragu karena merasa ga bagus. Dan koment yang paling menyebalkan adalah “ pake kamera apa sih lo?”. DANG!!!.. What’s in your hand is the best, man..

Tidak semudah itu untuk menjadi fotografer, baik fotografer professional berbayar maupun yang karyanya sudah diakui secara luas (terlebih kalau dapat award). Banyak yang harus dipikirkan terutama kreativitas ide, eksekusi sehingga menuai hasil yang enak dipandang. Semuanya lebih penting dari aksi menenteng dan memotret itu sendiri. Sejatinya seorang fotografer adalah ahli dalam membuat foto serta menguasai tehnik yang baik. Have you?

Jadi, sejauh mana kita pantas disebut photographer? Ketika sudah punya kamera? Bisa jadi duit? Menang lomba?

Buat saya ga penting. I just wanna shoot like my eye is shutter release…


salam jepret


ps :No offense ya saya nulis ini. Bukan apa- apa, bukan lantaran sirik karena saya ga bisa motret sambil pake kacamata item (sumpah kalo bisa mah pengen banget buat jadi pp. khan keren, kakakkk…).