Monday, March 10, 2014

Adrenalin Challenge ( Mountain Climbing - Mt. Lokon)


(For GetAway Magazine Issue, March 2014)


Raut mukanya tampak sedikit cemas. Sesekali dia berjongkok, meraup  debu dan menaburkan di udara.
“ Kita harus bergegas. Kalau bisa nanti kamu hanya 1 menit saja di atas untuk mengambil foto”  dengan tegas Om Lala,  ( Om panggilan akrab di daerah Sulawesi Utara), begitu orang-orang akrab menyapanya dan dikenal sebagai kuncen Gunung Lokon,  membriefing saya sambil terus meneruskan langkahnya.

Gunung Lokon terletak di Propinsi Sulawesi Utara, dengan ketinggian 1580m di sebelah barat laut kota Tomohon yang asri dan sejuk. Gunung Lokon merupakan penyuplai pupuk terbaik bagi tanah Tomohon yang terhampar di bawahnya. Pada tahun 1991 Gunung ini pernah meletus hebat dengan melontarkan ribuan batu dan awan debu tebal. Pada saat itu  udara di gunung yang biasanya sejuk berubah menjadi panas karena ia memuntahkan Lava pijar ke udara dengan ketinggian hampir 400meter. Angin yang membawa debu dari muntahannya menyebar menaburi tanah dibawahnya ibarat pupuk. Aktivitas Lokon hingga kini masih terus berlangsung berupa gempa tremor dan vulkanik dan bisa dirasakan oleh penduduk di sekitarnya, yaitu mereka yang bermukim di desa Kakaskasen sebagai desa terdekat .
Udara dingin semakin menggigit dan semakin ke atas oksigen semakin menipis, membuat  nafas tersenggal dan langkah menjadi lebih berat. Tersenggal- senggal saya berusaha mengejar langkahnya. Tentu saja karena medan  perjalanan yang sudah pasti menanjak dan tidak rata.

Berbeda dengan beberapa pendakian yang saya lakukan sebelumnya di beberapa tempat , pendakian kali ini selain memompa darah lebih cepat juga memacu adrenalin lebih kencang. Bisa jadi keputusan saya kali ini untuk mendaki untuk mengambil contoh bebatuan dari lahar baru sangat kontrovesial karena gunung ini masih berstatus siaga dan sebulan sebelumnya Gunung Lokon baru saja meletus dengan melontarkan debu vulkanik hingga 3000 meter ke udara.


Dini hari tadi kami memulai pendakian sekitar pukul 4 pagi. Melalui jalan setapak yang cukup landai hingga tiba di jalur pendakian yang lebih mirip sungai dengan batu- batu besar di kanan kiri. Ini adalah lintasan lahar panas yang kemudian membeku membentuk bebatuan. Rute ini adalah rute yang biasa ditempuh para pendaki, mengikuti alur aliran lava dingin yang berkelok-kelok hingga ke danau kawah yang terletak kurang lebih 600 meter dari puncaknya. Terkadang batu- batu ini cukup licin dan seringkali agak tinggi sehingga saya harus merangkak atau mengangkat lutut tinggi-tinggi dibantu kedua tangan untuk mendaki.


Beberapa orang mungkin menganggap bahwa mendaki gunung dianggap sebagai kegiatan yang menyerempet bahaya. Bahkan tak jarang ada yang menganggap kegiatan ini “sok jagoan”. Mungkin semua itu benar adanya jika dilakukan tanpa bekal pengetahuan yang cukup dan persiapan yang matang.

Layaknya kegiatan dialam bebas lainnya, mendaki gunung sebenarnya seperti menjalani kehidupan. Mendaki gunung mengharuskan seseorang memiliki persiapan yang baik dan tentu saja ini melatih seseorang untuk selalu penuh perhitungan dalam setiap langkahnya menjalani kehidupan. Disini kita juga dilatih untuk berdisiplin, seperti halnya ketika saya harus tepat waktu berangkat pukul 4 pagi, bertanggung jawab dan dapat mengambil keputusan dengan tepat karena banyaknya tantangan yang dihadapi. Hal lain adalah menumbuhkan rasa cinta terhadap alam dan lingkungannya dengan mengenal secara langsung.

Matahari perlahan mulai muncul dari balik Gunung  Mahawu yang terletak tepat di seberang Gunung Lokon. Sinarnya jatuh menerpa embun rerumputan di sekitar pelataran Gunung Lokon,  berkilau bagaikan serbuk emas. Di bawahnya tampak sungai berwarna keperakan berkelok-kelok. Saya tidak bisa terlalu lama menikmati pemandangan itu. Disatu sisi saya agak sentimental, satu sisi saya teringat pesan guide untuk bergegas ke puncak. 


Kurang lebih 2 jam pendakian akhirnya kami tiba di bibir kawah yang mulai menunjukan aktivitas batuknya sedikit-demi sedikit. Gunung Lokon memiliki keunikan karena kawahnya terletak di sebelah utara lereng gunung dan bukan berada di puncaknya. Dahulu di kawah ini terdapat sebuah danau vulkanik. Bau belerang mulai tercium tajam. Seperti yang di katakan saya hanya punya waktu satu menit untuk segera mengambil gambar dan kemudian kami bergegas turun. 

Dalam perjalan pulang saya mulai mengumpulkan beberapa jenis bebatuan yang baru saja terbentuk dari lahar yang baru membeku. Kira-kira pukul 01.siang hari yang sama, dari kejauhan Gunung Lokon tampak berkali-kali mengeluarkan asap tebal berwarna  putih dan kadang hitam.
Sore itu dari jendela kamar saya menatap ke arah gunung yang tampak tenang, menjaga kota Tomohon dikakinya yang mulai meredup seiring datangnya senja. Cahaya matahari yang perlahan mulai tenggelam seolah-olah membingkainya. Sungguh tidak seorangpun pernah tahu kapan dia akan mulai menggeliat.