Tuesday, December 10, 2013

Telaga Situ Gunung, Sukabumi


(For GetAway!Magazine, Dec'13 issue)

People sometimes think only travelling abroad is what counts, but you can do so many local travels unforgetable’. Seperti saya,  cukup pulang kampung saja. 



“Lagi liburan ke luar negeri ya? “ begitu komentar teman ketika saya mengupload sebuah foto di jejaring social. Saya hanya tertawa karena foto yang saya unggah itu tidak lain cuma berada sekitar 16 km atau 30 menit saja dari rumah saya di kampung halaman Sukabumi. 

Apa sih istimewanya danau ini?. Tiap kali pulang kampung pasti saya selalu menyempatkan diri datang kesini belum lagi harus bangun ketika hari masih gelap dan sambil menahan dingin yang menusuk berjalan naik turun menyusuri hutan. Tentu saja karena jiwa saya telah terpikat dengan suasana pagi disini. Deretan pohon- pohon cemara dan agathis berjajar rapi menjulang tinggi di sepanjang danau yang masih berselimut kabut. Seiring dengan terbitnya matahari perlahan kabut putih akan bergerak naik ke atas lalu sinar matahari akan menerobos dari sela-sela pepohonan. Bayang-bayang pepohonan mulai muncul di permukaan danau seolah mereka sedang bercermin menyambut pagi.  Terkadang seorang nelayan yang sedang menebar jala diatas rakit melintas, berlatar belakang hutan diselimuti kabut dan guratan sinar mentari pagi bak lukisan alam yang seringkali  membuat rasa haru merambat. Ditambah suara burung – burung yang mulai berkicau siapa yang rela kehilangan moment ini. 



Orang mengenalnya sebagai Telaga Situ Gunung. Terletak di kaki gunung Pangrango dengan luas kurang lebih 100ha dan masuk wilayah Desa Kadudampit Kabupaten Sukabumi,  kawasan ini termasuk wilayah pelestarian alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Menurut legenda, telaga ini dibuat pada tahun 1817 oleh seorang pejuang keturunan keluarga kerajaan Mataram yaitu Rangga Jagad  Syahdana atau lebih dikenal dengan nama ‘Mbah Jalun” yang berulang kali melakukan perlawanan terhadap belanda dengan berpindah-pindah dan akhirnya  menetap di Cisaat Sukabumi .



Di kawasan ini juga terdapat camping area yang dikelola secara maksimal sehingga tidak menyusahkan buat mereka yang ingin menikmati pemandangan telaga dari pagi hari. Menjelang siang kawasan ini mulai ramai dikunjungi wisatawan. Mereka menikmati suasana danau sambil naik perahu atau sampan.  Setelah menikmati panorama pagi di Situ Gunung, biasanya saya akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan  kaki ke pedesaan sambil menikmati hijaunya pemandangan dari perkebunan dan sawah penduduk. Tidak jauh dari telaga juga ada jalan setapak yang akan menuntun kita ke sebuah curug (air terjun) yang dikenal dengan anama Curug Sawer dimana airnya yang jernih dan sedingin es  mengalir diantara batuan. 


INFO

Transportasi
Travel/Bis  Jakarta – Sukabumi, turun di Alun- Alun Cisaat dilanjutkan naik ojek/ angkot
Tiket Masuk Taman Wisata
Rp.3000/orang
Rp.10.000/Mobil
Akomodasi
Reservasi : 0877 80 622 836 ( Ibu Tuti)
Rumah Makan


YADNYA KASADA - TeerSheet


(For GetAway! Magazine, Dec'13 issue)

Saya tiba di Desa Ngadas sekitar pukul 1 siang disambut udara dingin yang mulai menusuk. Desa Ngadas adalah desa terakhir apabila kita hendak menuju kawasan Taman Nasional BromoTengger Semeru di propinsi Jawa Timur. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merupakan kawasan konservasi yang memiliki keunikan dengan adanya panorama anak gunung, savana (padang rumput) yang luas serta  lautan pasir seluas 5.250ha yang berada di ketinggian kurang lebih 2100dpl.  Di bagian selatan merupakan dataran tinggi yang dipisahkan oleh lembah dan ngarai serta danau-danau kecil yang membentang di kaki gunung Semeru. Kawah Gunung Bromo sendiri berada di bagian utara dengan ketinggian 2.932 dpl, merupakan kawah yang yang masih aktif dan sering mengeluarkan kepulan asap ke udara.

Ibu Mulyadi sang pemilik rumah menyambut saya dengan ramah. Beliau langsung mengajak saya ke dapurnya dimana terdapat sebuah perapian (pra pen) yang terbuat dari semen dengan beberapa dingklik (bangku pendek dari kayu) di sekitarnya. Rasa hangat langsung menjalari tubuh. Bu Mulyadi adalah salah seorang suku Tengger yaitu suku yang bermukim di sekitar Gunung Bromo dimana masyarakatnya  tetap berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya yang  di wariskan oleh nenek moyangnya secara turun menurun.  Suku Tengger dan Gunung Bromo adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya melengkapi satu sama lain.





Suku Tengger tersebar di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Mayoritas penduduknya beragama Hindu dan hidup sebagai  petani. Ladang- ladang mereka berada di lereng gunung dan bukit dengan hasil utama jagung, kentang, wortel, kubis, daun bawang dsb. Pada umumnya mereka hidup sangat sederhana. Bahkan alat pertanian yang mereka gunakan masih bersifat traditional seperti sabit dan cangkul. Masyarakat Tengger hidup penuh kedamaian. Segala permasalahan diselesaikan dengan bermusyawarah dan dipimpin oleh  orang yang yang paling berpengaruh yang biasa di sebut Dukun. Dukun ini berperan dalam segala pelaksanaan adat istiadat  dan kegiatan masyarakat lainnya.

" Yang penting buat kami ini hidup tentrem ( damai), tidak menganggu satu sama lain dan kerja keras " kata Bu Mulyadi sambil tangannya sibuk menyiapkan sesajen yang akan dibawanya besok  untuk mengikuti  upacara Kasada. Upacara Kasada oleh masyarakat Tengger biasa di sebut Wilujengan Kasada. Acara yang juga disebut Yadna Kasada ini merupakan ritual masyarakat Tengger yang diadakan setiap setiap punama pada bulan ke-10 (Kasada) menurut penanggalan Hindu Tengger.



Keesokan paginya saya diajak keluarga Mulyadi untuk mengikuti pengambilan air suci. Dengan menggunakan jeep pribadi kami melintasi padang rumput luas yang membentang dan membelah lautan pasir hingga tiba di kaki gunung yang terletak di dekat kawah Bromo. Mata airnya terletak di dalam goa di atas bukit. Cukup melelahkan tentu saja mendaki ke atas. Goa ini yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Goa Widodaren merupakan lokasi pemujaan masyarakat Hindu Tengger yang percaya bahwa air yang keluar dapat membuat paneh melimpah sehingga dianggap suci. Ritual pengambilan air ini disebut Mendhak Tirta. Air dimasukan ke dalam bumbung bambu yang nantinya akan dibawa ke pura agung  poten  tempat upacara berlangsung.


Acara dimulai pada sore hari dengan pembacaan sejarah tentang asal usul masyarakat Tengger. Secara singkat dikisahkan kata Tengger merupakan singkatan dari Lara Anteng dan Jaka Seger, sepasang suami istri yang memberikan 25 keturunan yang selanjutnya menjadi nenek moyang masyarakat Tengger. Upacara Kasada itu sendiri dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada putra pertama mereka, Raden Kusuma,  yang dikorbankan kepada Gunung Bromo dalam rangka pemenuhan janji mereka untuk mendapatkan keturunan. 




Malam mulai datang perlahan. Sinar bulan purnama menerangi Pura Poten yang dipenuhi pengunjung. Sebagian warga tampak menghangatkan diri dengan berdiang di api unggun melawan udara dingin. Selanjutnya seluruh dukun yang hadir memberikan persembahan sesaji  diikuti acara yang paling sakral yaitu pembacaan doa tidak hanya untuk komunitas masyarakat Tengger namun seluruh umat di dunia agar di beri keselamatan dan kemakmuran. Tepat pukul 00.00 mereka berjalan beriringan dengan membawa sesaji menuju kawah Bromo diikuti oleh masyarakat Tengger itu sendiri. Saya cukup salut karena banyak dari mereka yang  bisa dikatakan berusia tidak muda lagi. Dapat dibayangkan bagaimana rasa dingin yang menusuk dan harus berjalan dalam gelap sambil memanggul sesaji yang ditata dengan sangat rapi dengan menggunakan ongkek bambu. 


Menjelang matahari terbit, yang disebut dengan Surya Serwana, acara Labuhan pun dimulai. Dalam acara labuhan ini, benda yang di labuh ( dipersembahkan) berupa segala macam tanaman yang menghasilkan dari hasil pertanian masyarakat tengger seperti kentang, kubis, ketela dan sebagainya.  Terkadang ada juga yang membawa persembahan berupa kambing atau ayam,  biasanya mereka yang meminta permohonan khusus. Di lereng kawah Bromo sudah berkerumun orang-orang yang disebut pengambil sajen, bersiap untuk menangkap  persembahan yang di lempar ke dalam kawah. Ada yang bermodalkan jala dari kain goni, sarung maupun terpal plastik. Tidak ada rasa kekhawatiran berdiri di lereng yang curam dengan kawah aktif yang mengepul  di belakangnya.


Selain meminta keselamatan, upacara ini mampu menyedot banyak perhatian dari masyarakat. Upacara Kasada tidak hanya untuk masyarakat Tengger saja namun masyarakat umum juga boleh ikut berpartisipasi baik sebagai penonton maupun ikut dalam prosesinya.

INFO
Transportasi
Flight/ Kereta Api : Jakarta - Surabaya / Jakarta - Malang
Travel/Bis :
  • Surabaya - Malang  dilanjutkan naik angkot sampai Tumpang, berganti Ojek/Jeep/Truk Sayur sampai desa Ngadisari 
  • Surabaya - Probolinggo sampai Desa Cemoro Lawang
Penginapan
  • Rumah penduduk di desa Ngadisari
     Ibu Mulyadi 08283396641/ 082895297127 (juga melayani penjemputan dari St. Malang dan                      penyewaan jeep)


  • Hotel Cemoro Indah Lawang 

Wednesday, December 4, 2013

The Pindapata Ritual -TeerSheet


(For GetAway! Magazine - December'13)


Bagi mereka yang tinggal di negara yang mayoritas menganut ajaran Buddha seperti Thailand, Myanmar atau Kamboja hal ini merupakan pemandangan yang biasa di pagi hari. Ritual ini disebut Pindapata, berasal dari kata Pinda yang berarti gumpalan/bongkahan makanan dan Pata yang berarti dijatuhkan. Sehingga dapat diartikan bahwa Pindapata adalah ritual memberi (oleh penduduk) & menerima (bagi bhikku) makanan yang ditaruh ke dalam mangkuk. Para bhikkhu hanya diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan antara fajar hingga 12 siang sehingga mereka selalu melakukan pindapata di pagi hari.  Ritual tersebut sudah dilakukan dari jaman dahulu kala, dimulai ketika Buddha berkata bahwa biarawan dan biarawati tidak perlu memasak atau menyimpan makanan mereka sendiri dalam rangka untuk menyederhanakan kehidupan monastik dan untuk memperkaya kehidupan spiritual orang-orang awam.





 “Ayu, Yanno, Sukham, Balam” terdengar lirih sang bhikku mengucapkan doa, yang artinya semoga panjang umur, elok, bahagia dan kuat. Tanpa memandang kepada penderma kedua bhikku menutup kembali mangkuk dengan jubahnya. Dengan tenang, penuh perhatian dan tampak penuh pengendalian diri perlahan mereka kembali menyusuri jalan.  Mereka sesekali berhenti di rumah yang lain tanpa memandang kondisi bangunan, baik atau buruk. Di belakang saya tampak beberapa bhikku yang juga melakukan kegiatan yang sama. 



Filosofi dari kegiatan ini adalah proses saling memberi dan menerima baik untuk bhikku maupun umat. Bagi umat Budhha dengan ber-pindapata akan membawa kebahagiaan baik dalam kehidupan saat ini maupun dikehidupan berikutnya karena dengan demikian mereka telah melakukan Dhammadana (ajaran Buddha) yang paling tinggi. Sementara bagi para bhikku sendiri dengan menerima kebutuhan pokok hidupnya dari umat, mereka memberi kesempatan bagi umat  untuk berbuat kebaikan disamping bhikku sendiri dapat menjalankan kewajibannya untuk membimbing dan mengarahkan umatnya ke jalan kebaikan.

Ada kalimat yang saya suka dari ajaran sang Buddha, “ Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta”. Semoga  semua mahluk berbahagia.

Friday, November 22, 2013

Danau Toba - TeerSheet



(For Sriwijaya In-Flight Magazine, Oct'13)




Bangkok - TeerSheet



( For Sriwijaya In-Flight Magazine, May'2013)



Ho Chi Min City - TeerSheet


(For Sriwijaya In-Flight Magazine, March 2013)











Wednesday, November 20, 2013

Teluk Kiluan - TeerSheet


(For GetAway! Magazine, September'13)




Tak pernah ada kata berhenti untuk menyaksikan keindahan pantai di Indonesia. Salah satunya adalah Teluk Kiluan yang berada di barat daya Kota Lampung, tepatnya di Kabupaten Tanggamus Kecamatan Kelumbayan.  Untuk menuju Desa Kiluan yang berjarak sekitar 90km dari Bandar Lampung memang tidak mudah.  Jalan tidak beraspal, berbatu dan berkelok-kelok naik turun bukit adalah kenyataan yang harus di lalui jika ingin mengunjungi Kiluan. 

Karena sampai saat ini belum ada angkutan umum untuk menuju Kiluan sebenarnya cara yang paling simple adalah dengan menggunakan kendaraan pribadi, dan tentunya tidak disarankan jenis sedan. Yang saya lakukan bersama teman- teman kemarin adalah menyewa kendaraan. Setelah menempuh perjalanan dengan menyeberang Selat Sunda selama 2 jam dari pelabuhan Merak Banten, kami tiba di Pelabuhan Bakauheni Lampung dan perjalanan di mulai dengan menyusuri pesisir pantai di barat daya kota Lampung menuju Teluk Betung hingga tiba di Pantai Cermin. Dari Bandar Lampung ke Pantai Cermin memakan waktu kira- kira 2 jam. Bersiap- siaplah untuk off road dari sini sampai  Desa Bawang yang merupakan gerbang menuju Teluk Kiluan. Beberapa petunjuk jalan sering kali  kita jumpai.  Anggap saja itu  sebagai penghiburan bahwa sebentar lagi kita akan sampai. Pemandangan sepanjang jalan cukup bervariasi, mulai dari perkampungan dengan rumah panggung, hamparan sawah dan beberapa tambak udang dan ikan.

Sedikitnya setelah  4 jam akhirnya kami melihat juga gapura bertuliskan “ Selamat Datang di Teluk Kiluan” dengan  latar belakang Teluk Kiluan dan Pulau Kiluan. Aroma laut mulai tercium.  Memasuki Desa Kiluan Negeri sebagai desa terakhir untuk menuju Pulau Kiluan yang terletak di tengah teluk, saya agak sedikit heran melihat banyaknya sesaji  dan beberapa bangunan pura.

“ 40 Kepala Keluarga disini beragama Hindu. Dan mereka  semua adalah keturunan dari pendatang asli pertama di desa ini ” Pak Kadek, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Desa menjelaskan. Pak Kadek sendiri berdarah Bali dan kami menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal walaupun kami lihat ada sebuah cottage di ujung pantai . Baru pada tahun 2007 desa ini mengalami pemekaran sehingga infrastuktur dan fasilitas umum masih sangat minim. Beberapa rumah penduduk menggunakan generator. Walaupun dengan kondisi yang serba minim ini namun tak membendung keinginan para pelancong untuk mengunjungi Teluk Kiluan.

Selain panorama alam yang mengesankan, hampir setiap pagi hari kawanan lumba-lumba beratraksi di teluk ini.  Ya, Teluk Kiluan tercatat sebagai tempat  habitat lumba- lumba terbesar bukan hanya di Indonesia  namun di dunia.  Sementara ini tercatat ada dua jenis lumba-lumba yang terdapat di perairan Teluk Kiluan yaitu Turpiops Truncatus atau lumba-lumba kepala botol. Ini adalah jenis lumba-lumba yang sering mengawal perahu nelayan.  Jenis lainnya adalah Stenella Longirostris yang sering membuat gerakan melompat di udara dan sering di sebut Spinner Dholpin. 
Karena lumba-lumba hanya muncul di pagi hari maka keesokan harinya kami sudah siap dengan jaket pelampung. Deretan cadik ( jukung) , perahu traditional yang ditempeli motor, berjejer rapi di tepi pantai  siap mengantar kami ke tengah laut. Jukung ini hanya muat menampung 4 orang termasuk pengemudi dengan membayar Rp.250.000/kapal.
Laut yang tenang adalah yang disukai lumba-lumba yang hidup berkelompok. Perahu diarahkan ke tengah samudera luas dan tidak beberapa lama terlihat puluhan lumba-lumba mulai bermunculan seolah menyambut kami. Excited, mungkin itu rasanya ketika melihat mereka bergerak lincah dan menari di samping perahu. Mereka tampak begitu menggemaskan.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Kiluan adalah pada saat musim kemarau. Perairan yang hangat menjadikan teluk ini sebagai jalur migrasi kawanan lumba-lumba ke Samudera Hindia.  Namun tidak perlu berkecil hati kalau kita tidak bisa menemui lumba-lumba karena kita masih bisa menikmati pasir putih di Pulau Kiluan yang  terletak di tengah teluk. Dari Desa Kiluan kita bisa menggunakan Taxi Jukung untuk menyeberang dengan membayar Rp.10.000/org. Pulau yang dikenal juga dengan nama Pulau Kelapa ini memiliki pasir putih  alami.  Airnya berwarna hijau kebiruan dengan banyak terumbu karang, bintang laut dan berbagai ikan hias. Snorkeling menjadi wajib hukumnya untuk menikmati semua keindahan itu.  Di Pulau Kiluan sendiri terdapat sebuah cottage dengan beberapa kamar yang bisa ditempati 4- 5 orang/ kamarnya dengan biaya sebesar Rp. 200.000/kamar. Ingin menikmati tidur di bawah langit penuh bintang? Tidak usah khawatir. Kita bisa mendirikan tenda di pulau ini dengan membayar restribusi sebesar Rp. 60.000.
Semua perjuangan untuk mencapai salah satu pelosok di negeri ini terbayar dengan eksotisme Teluk Kiluan yang mempesona.  Dan tak henti-hentinya saya bersyukur memiliki negeri yang indah ini.


Akomodasi:
Cottage di Desa Kiluan, Pak Sarmin (081272283879) harga sewa Rp.300.000/malam, menyediakan makan dengan biaya Rp.15.000/1x makan
Cottage di Pulau Kiluan , Pak Choiril Anwar ( 081377695200)
Pak Dirham : 081369991340/ bang_dir@yahoo.com juga melayani pengantaran ke Teluk Kiluan dengan kendaraan ELF berkapasitas 10 orang, biaya Rp. 600.000,-


-----0000-----

Tuesday, November 19, 2013

Sea Kayaking di Teluk Weda, Halmahera - Teersheets


(For GetAway! Magazine, September '13)



“Kamu tidak mahir berenang? Tidak usah khawatir. Laut disini hampir sama tenangnya dengan kolam biasa” . Begitulah kira-kira bujuk rayu Rob,  sang pemilik Weda resort ketika melihat saya hanya tercenung memandangi perahu panjang kecil dengan hanya sedikit bagian terbuka untuk tempat duduk dan selebihnya tertutup rapat. Langsung saya teringat menaiki perahu jenis serupa, terombang ambing menyusuri sungai ketika memasuki belantara Mentawai beberapa waktu lalu. Itu saja dulu sudah membuat saya gugup karena seolah-olah perahu tidak pernah seimbang dan cuma bisa pasrah menyerahkan nasib pada tukang perahu.  Apalagi ini saya harus duduk sendiri menghadapi lautan luas dengan gelombang yang ringan namun cepat.

“ Kano berbeda dengan kayak “ jelas Rob,  pria berkebangsaan Belanda yang sudah menjadi warga negara Indonesia dan pernah meraih penghargaan Kalpataru atas jasanya menjaga keindahan bumi Halmahera. “ Seringkali orang menganggap Kano dan Kayak adalah sama terlebih karena mereka digerakan dengan dayung. Kamu tidak perlu khawatir, Kayak didesain agar bisa menyesuaikan keadaan sehingga apabila kamu terbalik bisa langsung kembali ke posisi semula dengan cepat “. Well hello..kenapa harus terselip kata-kata “terbalik”.

Sambil menerangkan dia memperagakan cara menggerakan  dayung. Berbeda dengan kano yang hanya memiliki satu blade, kayak memiliki dua blade yang fungsinya untuk menjaga keseimbangan. Ini juga sudah diperhitungkan untuk menyesuaikan dengan bentuk kayak yang ramping.


Kurang lebih selama 15 menit mendengarkan penjelasan sang instruktur, saya mulai memberanikan diri dengan memasang baju pelampung sebagai langkah awal. Ini merupakan salah satu hal penting yang perlu diingat demi keselamatan dan mencegah hal yang tidak diinginkan. Sambil berusaha melupakan kata-katanya tentang “terbalik” saya membantu mengangkat perahu untuk membawanya ke air. Walaupun Sea Kayaking tidak terlalu merepotkan karena tidak menggunakan mesin, bahan bakar atau pun layar, tetap saja itu membutuhkan tenaga untuk membawa perahu yang kelihatan ramping dan ringan dari daratan. Sempat terlintas di pikiran bahwa mengangkat perahu  mungkin bagian dari olah raga tersebut .



Perahu tidak stabil ketika saya memulai langkah pertama masuk ke dalamnya, namun ini adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika sudah duduk namun perahu masih miring ke kanan ke kiri. Ini disebabkan postur tubuh ketika duduk tidak benar.  Setelah saya merasa seimbang dan duduk dengan nyaman, kemudian saya mulai memegang dayung. Lima menit pertama saya masih belum mampu beradaptasi antara menjaga keseimbangan dan mengarahkan dayung dengan tepat. 

Beberapa waktu kemudian birunya laut dan segarnya angin laut membuat saya  lupa kemana saya harus mengarahkan perahu. Disamping karena saya sedang mengagumi diri sendiri berada di tengah lautan luas yang seolah milik saya pribadi, saya mulai merasa seperti Freya Hoffmeister, seorang wanita penggila olahraga Sea Kayaking yang pernah mengarungi lautan sejauh 15.000km mengelilingi tepi benua Australia. Saat ini Sea Kayaking memang sudah menjadi salah satu  daya tarik wisata bahari dan  penggemar Sea Kayaking kebanyakan adalah perempuan. 


Berbicara keindahan laut di wilayah  Indonesia Timur, rasanya tidak lengkap bila tidak menyebutkan tempat yang satu ini. Terletak di kabupaten Halmahera Tengah dan merupakan bagian dari propinsi Maluku Utara,  Teluk Weda yang terletak di sebelah tenggara pulau Halmahera merupakan salah satu pintu penghubung antara Samudera Pasifik dan laut Seram Utara. Selain memiliki 20 titik selam dengan keindahan hayati yang beraneka ragam, dimana tentunya surga bagi para pecinta photography underwater, beningnya air di perairan Teluk Weda juga seringkali membuat saya berhenti mendayung karena terpukau dengan keindahan terumbu karang yang langsung bisa dilihat dari atas perahu. Saya  juga berharap bisa bertemu lumba-lumba yang sering muncul di perairan ini.



Saya tidak punya kata yang tepat untuk menggambarkan nikmatnya mengarungi lautan dengan menggunakan sampan kecil yang kita dayung sendiri. Saya hanya teringat perkataan Albert Einsteen, “ Look deep into nature and then you will understand better, “. Mungkin beginilah rasaya ketika alam mulai menyatu dengan kita seperti halnya saya dalam perahu kecil ini dan samudera luas yang mengitari kami.  Diiringi cahaya senja Halmahera perlahan saya mengarahkan perahu menuju pantai .

Tips Menuju Ke Sana
·      Beberapa maskapai penerbangan seperti Sriwijaya Air dan Lion Air  melayani penerbangan dari  Jakarta ke Ternate. Dari bandara Sultan Babullah Tenate menuju pelabuhan Kotabaru kurang lebih 20 menit menggunakan ojek atau angkutan umum. Dari situ menyebrang dengan speedboat sekitar 45 menit dengan biaya perorang 50.000. Apabila tidak mau menunggu terlalu lama  bisa juga kita menyewa kapal seharga 300.000. Sampai pelabuhan Sofifi melanjutkan perjalanan darat 4 - 5 jam menggunakan mobil carteran kisaran sewa 700.000 untuk 7 orang penumpang. Sebaiknya pergi berombongan untuk menghemat biaya transportasi
·         Penginapan http://www.wedaresort.com/ . Anda tidak perlu repot membawa segala peralatan karena pemilik resort sudah menyediakan segalanya.
·         Mengingat rute yang panjang dan tentu saja dengan pemandangan yang mempesona baik ketika di laut maupun di darat, persiapkan perbekalan yang cukup selama di perjalanan. Banyak tempat- tempat cantik yang bisa disinggahi sepanjang Sofifi menuju Weda sehingga perjalanan tidak akan membosankan.


----000----

Ho Chi Min City - Teersheet


(For getAway! Magazine, October'13)






Pantai Selatan Yogya - Teersheet


(For GetAway!Magazine, October'13)



Sejak lama saya merencanakan untuk menyusuri pantai - pantai  di selatan Yogya yang kabarnya memiliki panorama dan eksotika alam yang menawan. Bahkan di beberapa pantai- pantai tersebut hanya sedikit yang pernah menginjakan kakinya di sana alias masih perawan.  Perjalanan menyusuri pantai selatan Yogya melewati  bukit- bukit kapur dengan teras- teras  karang yang merupakan ciri daerah karst. Infrastuktur menuju kesana cukup bagus dan mengendarai motor sebagai alat transportasi adalah pilihan yang tepat.


Setelah kurang lebih 1, 5 jam melaju kendaraan, saya tiba di Pantai Baron. Pantai Baron merupakan sebuah teluk yang dikelilingi perbukitan karst, disinilah tempat pertemuan air laut dan air tawar yang berasal dari bawah sungai.  Banyak aktivitas penduduk yang bisa kita lihat disini. Beberapa orang tampak sedang bahu membahu menarik sebuah kapal nelayan yang baru tiba. Hasil tangkapannya memang tidak seberapa banyak namun buat cukup membuat saya excited karena baru kali itu melihat hasil tangkapan segar langsung dari laut. 


" sekarang ini musim tidak menentu. Kadang hasil tangkapan banyak kadang sedikit " kata Pak Marno, seorang nelayan sambil memperlihatkan hasil tangkapannya " kalau laut sedang kencang otomatis kami tidak berani pergi ( melaut) terlalu jauh"

Hasil tangkapan kemudian dibawa ke tempat pelelangan ikan yang tidak jauh dari bibir pantai. Pelelangan ini sekaligus dimanfaatkan sebagi tempat terjadinya transaksi antara nelayan dan pembeli yang notabene kebanyakan pemilik warung- warung yang tersedia di pinggir pantai yang juga merupakan tempat wisata alternatif apabila berkunjung ke Yogya.

Saya sengaja melewati beberapa pantai yang terlihat tidak ramai pengunjung. Pantai Siung misalnya, Pantai ini cenderung lebih senyap.  Begitu memasuki areal parkir saya disambut pemandangan tebing dan karang yang tinggi. Jajaran tebing yang tinggi seolah menantang untuk ditaklukan. Pasirnya putih dengan dengan air laut yang tenang.


Dibandingkan ketika pertama kali saya mengunjungi pantai selatan yogya, kala itu hanya beberapa pantai saja yang sudah popular, kali ini saya melihat sudah banyak penginapan di sepanjang jalan. Rupanya banyaknya wisatawan membuat masyarakat sekitar mulai menumbuhkan bisnis penginapan.  Polanya biasanya penginapan dan resto.




Hampir setiap waktu terutama ketika musim liburan tiba, Pantai- pantai selatan yang mayoritas memiliki ombak yang besar kerap kali menelan korban jiwa. Beberapa orang masih meyakini bahwa ketika jatuh korban itu adalah keinginan penghuni Pantai Selatan yang tersohor, Nyi Roro Kidul. Istilah mereka 'diambil' untuk dijadikan panglima atau prajurit kerajaan.

“ Pantai - pantai disini itu sebenarnya istimewa. “ kata salah satu nelayan yang siang  itu saya jumpai sedang mengumpulkan sejenis rumput laut di pinggir Pantai Ngobaran,  pantai berikutnya yang menjadi tempat persinggahan. Hamparan rumput laut berwarna hijau dan coklat juga beberapa jenis binatang laut tampak muncul dari sela- sela karang . Suara gemuruh ombak yang keras seolah- olah menjadi nyanyian baginya. Tidak ada sedikitpun saya liat kecemasan di matanya ketika gulungan ombak yang besar datang dan dari kejauhan , pecah jauh di pinggir pantai dan kemudian seolah luruh di kakinya.

" sebenarnya itu hanya karena tidak paham karateristik pantai- pantai disini saja " katanya " Disini, bahkan nelayan seperti saya sering mencari rumput laut atau memancing hingga ke tengah, karena kami sudah mengerti bahwa daerah ini aman ".

Daerah aman yang dimaksud disebut Plataran, ombak yang datang menepi tampak merata dan tidak sampai menghantam bibir pantai.  Secara ilmiah dijelaskan bahwa kebanyakan pantai selatan di Yogyakarta memiliki dasar laut laut yang curam yang oleh penduduk setempat di sebut Lebeng, ditandai dengan datangnya gelombang besar yang bergulung-gulung  tanpa diikuti pecahnya ombak hingga ujungnya menghantam bibir pantai dan menimbulkan lekukan yang menunjukan dasar laut yang curam.  Arus yang kuat akan berputar menuju ke tengah laut dan akan menyeret siapapun yang berenang di area itu.

Misalnya Pantai Parangtritis dikabupaten Bantul, selain paling sering di kunjungi wisatawan karena jaraknya yang relatif dekat dan mudah di capai dari kota, masyarakat Yogya dan sekitarnya meyakini bahwa Pantai ini adalah gerbang kerajaan bawah laut tempat tinggal Ratu Nyi Roro Kidul yang merupakan penguasa pantai- pantai selatan. Pantai Parangtritis merupakan salah satu tempat diadakannya upacara Labuhan yaitu salah satu upacara adat yang ada sejak jaman kerajaan Mataram berupa pemberian atau persembahan sesuai dengan kepercayaan bahwa di tempat tersebut pernah terjadi peristiwa penting yang berkenan dengan para leluhur raja. Walaupun yang menyelanggarakan adalah pihak keraton namun masyarakat merasa ikut memiliki karena diyakini berpengaruh terhadap kehidupan sosial dalam  membina keselamatan, ketentraman dan kesejahteraan khususnya masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Banyak versi mengenai siapa Nyi Roro Kidul. Salah satunya adalah bahwa dia seorang putri mahkota raja bernama Putri Kadita yang terkena penyakit dan akhirnya dibuang oleh ayahnya. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah jelmaan salah satu tujuh bidadari. Sementara menurut tradisi Mataram sendiri bahwa Nyi Roro Kidul adalah seorang putri yang dikutuk dan dijadikan ratu roh halus dengan istana di bawah laut. Tidak ada fakta yang kuat mengenai keberadaan Nyi Roro Kidul. Namun masyarakat tetap meyakini adanya suatu revelansi  antara pantai selatan dengan keberadaan Keraton Yogyakarta. Keyakinan masyarakat terhadap keberadaan Nyi Roro Kidul hampir selalu dikaitkan dengan keberadaan Panembahan Senapati sebagai salah satu pendiri dan penguasa kerajaan Mataram.  Dalam penjelasan Babad Tanah Jawi secara tegas menyiratkan bahwa Nyi Roro Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senapati untuk menjaga kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan dan masyarakat dari malapetaka.

Ada yang menarik ketika kita perhatikan adanya sebuah garis imajiner antara Gunung Merapi, Keraton Yogya dan pantai Selatan. Dan di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta sendiri ada sebuah bangunan yang dinamakan Sumur Gumuling, terletak di dalam kompleks Taman Sari ( Istana bawah Air) yang di yakini sebagai tempat bertemunya Sultan dengan Kanjeng Nyi Roro Kidul.

Beberapa pantai di sepanjang selatan Yogya sebenernya saling berdekatan satu sama lain namun dipisahkan oleh karang- karang yang hanya bisa di lewati ketika air surut.  Bahkan terkadang saya harus menerobos semak dan perdu atau bahkan menyeberangi air surut sambil berjalan di atas karang.

Lebih dari 30 pantai di sepanjang selatan Yogyakarta yang rasanya tidak akan cukup didatangi dalam waktu satu hari. Mulai dari Pantai Glagah di ujung barat hingga Pantai Wedi Ombo di ujung Timur, mulai dari Kabupaten Gn. Kidul ( Baron, Kukup, Krakal, Drini, Sundak, Indyanti, Sadeng dan sekitarnya), Pantai Selatan bantul ( Parangtritis, Samas, Kwaru dan sekitarnya) hingga pantai selatan Kab Kulon Progo ( Trisik, Glagah dan sekitarnya) semua memiliki karateristik dan keunikan sendiri . Sebagaimana keistimewaan yang disandang daerah ini,  Yogya memang istimewa.


Info

Jakarta - Jogya
hampir semua maskapai penerbangan melayani rute ke Yogyakarta
kereta api  www.ptkai.co.com



Jogya - Wonosari,
Bus umum sampai terminal wonosari dilanjutkan dengan menyewa motor karena belum ada transportasi umum menuju kesana.

Penginapan

  • Omah Suket ( Rumah Keong)
0821.3525558/0817.279545

  • Walet Guest House
0878-38601129/ 0821.33006501
Rp.500.000/malam/4 orang

  • Joglo Watu Kelir
0819.0404.4481/0823.2737.7377






Monday, November 11, 2013

Bunaken - Teersheet

(For Sriwijaya InFlight Magazine, Nov'13)






"Kalo so di Manado nyanda afdol kalau ga ke Bunaken" perkataan ini paling sering diungkapkan begitu kita menginjak kota Menado. Tentu saja saya setuju dengan ungkapan  tersebut. Itulah mengapa saya begitu excited ingin segera menyeberang ke pulau yang sudah tersohor sebagai salah satu spot menyelam terbaik di dunia. Ini kali kedua saya berkunjung ke Menado. Menyusuri sepanjang jalan Boulevard yang sebelumnya masih sebagai kawasan reklamasi pantai saya sedikit terkejut melihat daerah itu  sekarang telah berkembang pesat menjadi kawasan bisnis dan sangat ramai,  Pusat -pusat perbelanjaan, hotel dan restoran berjejer disepanjang jalan.




Dari kota Manado sendiri kita harus menyeberang dengan menggunakan kapal, baik itu kapal umum maupun menyewa. Ada dua pilihan tempat persewaan kapal yakni pasar Bersehati dan Marina. Dari Pasar Bersehati tarifnya sekitar Rp. 300 ribu - Rp 400 ribu sedangkan jika dari Marina tarif yang berlaku lebih mahal sekitar Rp.600ribu - Rp 800 ribu. Cara yang ekonomis tentu saja bergabung dengan wisatawan lain dengan menumpang kapal traditional bertarif Rp. 50.000  namun kita harus menunggu sampai kapal benar-benar penuh. Mau lebih murah lagi? datang saja ke sisi utara pasar Menado atau biasa disebut pasar 45.  Setiap hari, kecuali Minggu, sekitar jam 2 - 3 sore ada transportasi umum menuju Bunaken. Untuk wisatawan dikenakan tarif sebesar Rp. 25ribu sementara penduduk lokal hanya membayar Rp.10.000. Harap diperhitungkan waktu menyeberang ke Bunaken ataupun sebaliknya. Dari Menado ke Bunaken kapal akan berangkat sekitar pukul 2 siang  dan kembali ke Menado keesokan harinnya sekitar pukul  10 pagi dan kapal umum tidak beroperasi pada hari Minggu. 




Kurang lebih 45 menit menyeberang saya  sudah melihat kejernihan air ketika kapal yang membawa saya akan berlabuh di dermaga Pulau Bunaken tepatnya di pantai Liang . Pantai Liang merupakan tujuan utama wisatawan berlabuh di  Bunaken. Barisan kapal berderet di sepanjang dermaga dan beberapa perahu memiliki bottom glass sehingga kita bisa menikmati keindahan bawah laut tanpa harus terjun ke laut. Sebuah Gapura berwarna biru menyolok bertulisan "Bunaken" tampak menjadi objek menarik bagi wisatawan untuk mengambil gambar. Di pintu masuk tertera harga tiket masuk yaitu Rp. 50.000 untuk wisatawan asing dan Rp. 2.500 untuk wisatawan lokal dan 1000 bagi pelajar. Beberapa wisatawan terlihat duduk-duduk bersantai di pinggir pantai yang rindang namun jangan berharap kita akan menemui pasir putih disini. Keistimewaan wisata Bunaken adalah menikmati keindahan  bawah laut. sehingga tidak heran, selain kios- kios cindera mata dan restoran yang berjejer, banyak sekali kios-kios yang menyewakan peralatan selam ataupun snorkeling.  Snorkel, fin, wetsuit, mask dan tabung-tabung peralatan selam berjejer rapi.





Taman Laut Bunaken pada awalnya bukan tempat terkenal hingga tahun 1974 ketika sebuah klub penyelam yang melakukan expedisi ke berbagai lokasi penyelaman di Indonesia menemukan taman laut yang indah ini. Kawasan ini resmi di buka sebagai konservasi kurang lebih 20 tahun kemudian dengan memberdayakan penduduk lokal dalam pengelolaan sektor pariwisata setempat termasuk didalamnya menyediakan akomodasi dan fasiltas pendukungnya. Secara keseluruhan Taman National Laut Bunaken yang terletak di Teluk Menado ini memiliki lima pulau yang berada di dalamnya yaitu Pulau Menado Tua, Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage dan Pulau Nain.

Menyelam adalah merupakan cara terbaik apabila kita ingin menikmati keindahan bawah laut Bunaken. Setelah melakukan survey tempat penyewaan alat selam yang banyak terdapat disekitar pantai, akhirnya saya kembali berada di atas kapal yang akan membawa ke titik selam,. Bersama beberapa orang dalam rombongan tersebut, setiap dua orang mendapat 1  dive master kecuali untuk mereka yang tidak memiliki lisence atau belum pernah menyelam  sama sekali khusus didampingi 1 orang dive master. Total biaya yang dikeluarkan untuk menyelam memang cukup mahal. 1 kali menyelam ditambah sewa alat termasuk boat berkisar dari harga 300 - 450 ribu rupiah. Harga tersebut akan lebih mahal lagi apabila kita didampingi satu orang dive master.
Tidak bisa menyelam? tidak usah khawatir, kita bisa melakukan aktivitas lain seperti snorkeling, menyusuri teluk ketika air surut, menikmati kuliner di pinggir pantai dan bahkan bisa ikut memancing bersama nelayan lokal di luar area pulau Bunaken. Untuk meyewa peralatan snorkling sendiri harganya berkisar dari 100.000 - 150.000 rupiah dan itu  sudah cukup memberi kepuasan karena dengan kejernihan air di perairan dangkal sekalipun kita masih bisa menikmati keindahan taman bawah laut ini. cara lain yang lebih mudah untuk menikmati setiap relung bawah laut Bunaken adalah dengan menumpang 'kapal selam 'Sub-Sea yang memiliki dinding kaca di sebelah kanan dan kiri kapal .Biaya sewanya lumayan mahal sekitar 350.000 ribu.

Tips :

  • waktu terbaik mengunjungi Bunaken adalah bulan Mei dan Agustus. Air laut sangat jernih dan hangat sehingga bisa melakukan penyelaman secara maksimal
  • lebih baik pergi berombongan untuk menghemat biaya. Membawa uang cash sangat disarankan karena kebanyakan transaksi dilakukan secara cash dan tidak ada mesin tarik tunai ( atm)
  • Wisata ke Bunaken dapat dilakukan dalam 1 hari saja apabila kita menyewa kapal. Dan tidak perlu membawa peralatan