Tuesday, December 10, 2013

Telaga Situ Gunung, Sukabumi


(For GetAway!Magazine, Dec'13 issue)

People sometimes think only travelling abroad is what counts, but you can do so many local travels unforgetable’. Seperti saya,  cukup pulang kampung saja. 



“Lagi liburan ke luar negeri ya? “ begitu komentar teman ketika saya mengupload sebuah foto di jejaring social. Saya hanya tertawa karena foto yang saya unggah itu tidak lain cuma berada sekitar 16 km atau 30 menit saja dari rumah saya di kampung halaman Sukabumi. 

Apa sih istimewanya danau ini?. Tiap kali pulang kampung pasti saya selalu menyempatkan diri datang kesini belum lagi harus bangun ketika hari masih gelap dan sambil menahan dingin yang menusuk berjalan naik turun menyusuri hutan. Tentu saja karena jiwa saya telah terpikat dengan suasana pagi disini. Deretan pohon- pohon cemara dan agathis berjajar rapi menjulang tinggi di sepanjang danau yang masih berselimut kabut. Seiring dengan terbitnya matahari perlahan kabut putih akan bergerak naik ke atas lalu sinar matahari akan menerobos dari sela-sela pepohonan. Bayang-bayang pepohonan mulai muncul di permukaan danau seolah mereka sedang bercermin menyambut pagi.  Terkadang seorang nelayan yang sedang menebar jala diatas rakit melintas, berlatar belakang hutan diselimuti kabut dan guratan sinar mentari pagi bak lukisan alam yang seringkali  membuat rasa haru merambat. Ditambah suara burung – burung yang mulai berkicau siapa yang rela kehilangan moment ini. 



Orang mengenalnya sebagai Telaga Situ Gunung. Terletak di kaki gunung Pangrango dengan luas kurang lebih 100ha dan masuk wilayah Desa Kadudampit Kabupaten Sukabumi,  kawasan ini termasuk wilayah pelestarian alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Menurut legenda, telaga ini dibuat pada tahun 1817 oleh seorang pejuang keturunan keluarga kerajaan Mataram yaitu Rangga Jagad  Syahdana atau lebih dikenal dengan nama ‘Mbah Jalun” yang berulang kali melakukan perlawanan terhadap belanda dengan berpindah-pindah dan akhirnya  menetap di Cisaat Sukabumi .



Di kawasan ini juga terdapat camping area yang dikelola secara maksimal sehingga tidak menyusahkan buat mereka yang ingin menikmati pemandangan telaga dari pagi hari. Menjelang siang kawasan ini mulai ramai dikunjungi wisatawan. Mereka menikmati suasana danau sambil naik perahu atau sampan.  Setelah menikmati panorama pagi di Situ Gunung, biasanya saya akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan  kaki ke pedesaan sambil menikmati hijaunya pemandangan dari perkebunan dan sawah penduduk. Tidak jauh dari telaga juga ada jalan setapak yang akan menuntun kita ke sebuah curug (air terjun) yang dikenal dengan anama Curug Sawer dimana airnya yang jernih dan sedingin es  mengalir diantara batuan. 


INFO

Transportasi
Travel/Bis  Jakarta – Sukabumi, turun di Alun- Alun Cisaat dilanjutkan naik ojek/ angkot
Tiket Masuk Taman Wisata
Rp.3000/orang
Rp.10.000/Mobil
Akomodasi
Reservasi : 0877 80 622 836 ( Ibu Tuti)
Rumah Makan


YADNYA KASADA - TeerSheet


(For GetAway! Magazine, Dec'13 issue)

Saya tiba di Desa Ngadas sekitar pukul 1 siang disambut udara dingin yang mulai menusuk. Desa Ngadas adalah desa terakhir apabila kita hendak menuju kawasan Taman Nasional BromoTengger Semeru di propinsi Jawa Timur. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merupakan kawasan konservasi yang memiliki keunikan dengan adanya panorama anak gunung, savana (padang rumput) yang luas serta  lautan pasir seluas 5.250ha yang berada di ketinggian kurang lebih 2100dpl.  Di bagian selatan merupakan dataran tinggi yang dipisahkan oleh lembah dan ngarai serta danau-danau kecil yang membentang di kaki gunung Semeru. Kawah Gunung Bromo sendiri berada di bagian utara dengan ketinggian 2.932 dpl, merupakan kawah yang yang masih aktif dan sering mengeluarkan kepulan asap ke udara.

Ibu Mulyadi sang pemilik rumah menyambut saya dengan ramah. Beliau langsung mengajak saya ke dapurnya dimana terdapat sebuah perapian (pra pen) yang terbuat dari semen dengan beberapa dingklik (bangku pendek dari kayu) di sekitarnya. Rasa hangat langsung menjalari tubuh. Bu Mulyadi adalah salah seorang suku Tengger yaitu suku yang bermukim di sekitar Gunung Bromo dimana masyarakatnya  tetap berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya yang  di wariskan oleh nenek moyangnya secara turun menurun.  Suku Tengger dan Gunung Bromo adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya melengkapi satu sama lain.





Suku Tengger tersebar di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Mayoritas penduduknya beragama Hindu dan hidup sebagai  petani. Ladang- ladang mereka berada di lereng gunung dan bukit dengan hasil utama jagung, kentang, wortel, kubis, daun bawang dsb. Pada umumnya mereka hidup sangat sederhana. Bahkan alat pertanian yang mereka gunakan masih bersifat traditional seperti sabit dan cangkul. Masyarakat Tengger hidup penuh kedamaian. Segala permasalahan diselesaikan dengan bermusyawarah dan dipimpin oleh  orang yang yang paling berpengaruh yang biasa di sebut Dukun. Dukun ini berperan dalam segala pelaksanaan adat istiadat  dan kegiatan masyarakat lainnya.

" Yang penting buat kami ini hidup tentrem ( damai), tidak menganggu satu sama lain dan kerja keras " kata Bu Mulyadi sambil tangannya sibuk menyiapkan sesajen yang akan dibawanya besok  untuk mengikuti  upacara Kasada. Upacara Kasada oleh masyarakat Tengger biasa di sebut Wilujengan Kasada. Acara yang juga disebut Yadna Kasada ini merupakan ritual masyarakat Tengger yang diadakan setiap setiap punama pada bulan ke-10 (Kasada) menurut penanggalan Hindu Tengger.



Keesokan paginya saya diajak keluarga Mulyadi untuk mengikuti pengambilan air suci. Dengan menggunakan jeep pribadi kami melintasi padang rumput luas yang membentang dan membelah lautan pasir hingga tiba di kaki gunung yang terletak di dekat kawah Bromo. Mata airnya terletak di dalam goa di atas bukit. Cukup melelahkan tentu saja mendaki ke atas. Goa ini yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Goa Widodaren merupakan lokasi pemujaan masyarakat Hindu Tengger yang percaya bahwa air yang keluar dapat membuat paneh melimpah sehingga dianggap suci. Ritual pengambilan air ini disebut Mendhak Tirta. Air dimasukan ke dalam bumbung bambu yang nantinya akan dibawa ke pura agung  poten  tempat upacara berlangsung.


Acara dimulai pada sore hari dengan pembacaan sejarah tentang asal usul masyarakat Tengger. Secara singkat dikisahkan kata Tengger merupakan singkatan dari Lara Anteng dan Jaka Seger, sepasang suami istri yang memberikan 25 keturunan yang selanjutnya menjadi nenek moyang masyarakat Tengger. Upacara Kasada itu sendiri dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada putra pertama mereka, Raden Kusuma,  yang dikorbankan kepada Gunung Bromo dalam rangka pemenuhan janji mereka untuk mendapatkan keturunan. 




Malam mulai datang perlahan. Sinar bulan purnama menerangi Pura Poten yang dipenuhi pengunjung. Sebagian warga tampak menghangatkan diri dengan berdiang di api unggun melawan udara dingin. Selanjutnya seluruh dukun yang hadir memberikan persembahan sesaji  diikuti acara yang paling sakral yaitu pembacaan doa tidak hanya untuk komunitas masyarakat Tengger namun seluruh umat di dunia agar di beri keselamatan dan kemakmuran. Tepat pukul 00.00 mereka berjalan beriringan dengan membawa sesaji menuju kawah Bromo diikuti oleh masyarakat Tengger itu sendiri. Saya cukup salut karena banyak dari mereka yang  bisa dikatakan berusia tidak muda lagi. Dapat dibayangkan bagaimana rasa dingin yang menusuk dan harus berjalan dalam gelap sambil memanggul sesaji yang ditata dengan sangat rapi dengan menggunakan ongkek bambu. 


Menjelang matahari terbit, yang disebut dengan Surya Serwana, acara Labuhan pun dimulai. Dalam acara labuhan ini, benda yang di labuh ( dipersembahkan) berupa segala macam tanaman yang menghasilkan dari hasil pertanian masyarakat tengger seperti kentang, kubis, ketela dan sebagainya.  Terkadang ada juga yang membawa persembahan berupa kambing atau ayam,  biasanya mereka yang meminta permohonan khusus. Di lereng kawah Bromo sudah berkerumun orang-orang yang disebut pengambil sajen, bersiap untuk menangkap  persembahan yang di lempar ke dalam kawah. Ada yang bermodalkan jala dari kain goni, sarung maupun terpal plastik. Tidak ada rasa kekhawatiran berdiri di lereng yang curam dengan kawah aktif yang mengepul  di belakangnya.


Selain meminta keselamatan, upacara ini mampu menyedot banyak perhatian dari masyarakat. Upacara Kasada tidak hanya untuk masyarakat Tengger saja namun masyarakat umum juga boleh ikut berpartisipasi baik sebagai penonton maupun ikut dalam prosesinya.

INFO
Transportasi
Flight/ Kereta Api : Jakarta - Surabaya / Jakarta - Malang
Travel/Bis :
  • Surabaya - Malang  dilanjutkan naik angkot sampai Tumpang, berganti Ojek/Jeep/Truk Sayur sampai desa Ngadisari 
  • Surabaya - Probolinggo sampai Desa Cemoro Lawang
Penginapan
  • Rumah penduduk di desa Ngadisari
     Ibu Mulyadi 08283396641/ 082895297127 (juga melayani penjemputan dari St. Malang dan                      penyewaan jeep)


  • Hotel Cemoro Indah Lawang 

Wednesday, December 4, 2013

The Pindapata Ritual -TeerSheet


(For GetAway! Magazine - December'13)


Bagi mereka yang tinggal di negara yang mayoritas menganut ajaran Buddha seperti Thailand, Myanmar atau Kamboja hal ini merupakan pemandangan yang biasa di pagi hari. Ritual ini disebut Pindapata, berasal dari kata Pinda yang berarti gumpalan/bongkahan makanan dan Pata yang berarti dijatuhkan. Sehingga dapat diartikan bahwa Pindapata adalah ritual memberi (oleh penduduk) & menerima (bagi bhikku) makanan yang ditaruh ke dalam mangkuk. Para bhikkhu hanya diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan antara fajar hingga 12 siang sehingga mereka selalu melakukan pindapata di pagi hari.  Ritual tersebut sudah dilakukan dari jaman dahulu kala, dimulai ketika Buddha berkata bahwa biarawan dan biarawati tidak perlu memasak atau menyimpan makanan mereka sendiri dalam rangka untuk menyederhanakan kehidupan monastik dan untuk memperkaya kehidupan spiritual orang-orang awam.





 “Ayu, Yanno, Sukham, Balam” terdengar lirih sang bhikku mengucapkan doa, yang artinya semoga panjang umur, elok, bahagia dan kuat. Tanpa memandang kepada penderma kedua bhikku menutup kembali mangkuk dengan jubahnya. Dengan tenang, penuh perhatian dan tampak penuh pengendalian diri perlahan mereka kembali menyusuri jalan.  Mereka sesekali berhenti di rumah yang lain tanpa memandang kondisi bangunan, baik atau buruk. Di belakang saya tampak beberapa bhikku yang juga melakukan kegiatan yang sama. 



Filosofi dari kegiatan ini adalah proses saling memberi dan menerima baik untuk bhikku maupun umat. Bagi umat Budhha dengan ber-pindapata akan membawa kebahagiaan baik dalam kehidupan saat ini maupun dikehidupan berikutnya karena dengan demikian mereka telah melakukan Dhammadana (ajaran Buddha) yang paling tinggi. Sementara bagi para bhikku sendiri dengan menerima kebutuhan pokok hidupnya dari umat, mereka memberi kesempatan bagi umat  untuk berbuat kebaikan disamping bhikku sendiri dapat menjalankan kewajibannya untuk membimbing dan mengarahkan umatnya ke jalan kebaikan.

Ada kalimat yang saya suka dari ajaran sang Buddha, “ Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta”. Semoga  semua mahluk berbahagia.